Selasa, 24 Februari 2009

Matahari Senja


Sore itu ketika matahari menorehkan keindahanya, sebuah mobil avanza melaju ke arah barat dengan kecepatan tinggi, menapaki jalan yang berliku dan bercadas, roda-rodanya berputar tak pernah henti dan letih hingga membawa kami tiba di tempat tujuan. Meskipun lelah dalam perjalanan tak membuat kami patah semangat setelah menyaksikan hamparan laut nan luas bersibak warna keemasan di ufuk barat di kala senja hari.

Aku dan teman-teman bergegas ke pantai ingin segera melihat sekaligus menikmati hamparan laut nan luas, aku berdiri di tepian pantai menanti terpaan ombak, dan hempasan angin yang menyapaku dengan lembut. Aku dan teman-teman pun mengambil gambar sebagai bukti dan kenangan setelah kami pulang nanti, ku tak sia-siakan kesempatan ini gumanku dalam hati.

Hari semakin sore, matahari masih enggan untuk terbenam, lentera warga pun mulai menyala, aku kemudian bergegas kepondokan untuk tunaikan shalat magrib bersama teman-teman lainya, namun aku belum puas, seusai sholat aku dan teman-teman kembali ke pantai, aku seakan tidak puas dengan panaroma keindahan laut dan pantainya, aku berjalan menyusuri tepian yang tak berujung, kuraih batu kecil kemudian kulemparkan ke laut, oh…..ternyata tidak, kemampuanku hanya sebatas melempar kapas yang kemudian di terbangkan angin….

Keindahan di malam hari membias dalam hati bagi siapa saja yang menikmatinya, gemuruh ombak datang silih berganti mengisahkan air dari hulu ke hilir, dari kejauhan nampak kilauan air akibat pantulan cahaya rembulan di malam hari. Sungguh ku ingin ungkapkan perasaan yang ku alami di tempat itu namun semuanya hanya buaian dan perasaanku belaka karna semua orang menikmatinya, tapi mungkin aku beda karna kuingin memaknainya.

Tapi malam itu aku kecewa, sungguh aku kecewa kecewa dan kecewa terhadap sebagian pengunjung, hatiku ciut marah melihat sepasang pria dan wanita di luar nikah saling berpelukan mesra. Hatiku sangat marah karna tempat yang ALLAH sediakan untuk mentadabburi kekuasaanya ternyata di salah gunakan oleh segelintir anak muda dengan maksiatnya. Alangkah sedihnya hatiku dengan pemandangan yang seperti ini. Hatiku meronta gelisah ingin berteriak sekeras-kerasnya sampai suaraku membui di dasar laut.

Selasa, 17 Februari 2009

KERINDUAN-QUE PADANYA


Sebening tetesan embun pagi secercah sinar mentari, bila kutatap wajahmu ibu ada keselamatan di dalam hatiku. Air wudhu selalu membasahimu, Ayat suci selalu di kumandangkan, suara lembut penuh keluh dan kesah, berdo’a untuk putramu.
Oh… Ibu engkaulah wanita yang kucintai selama hidupku, maafkan anakmu bila ada salah, pengorbananmu tanpa balas jasa.
Tak terlukiskan perhatianmu duhai ibu, sepanjang masa, kasih sayangmu duhai Ibu. Lelah engkau menjaga namun tak resah do’a dan keikhlasan adalah Ridho Allah jua yang engkau harap.
Sedari kecil kau mengasuhku duhai Ibu. Air susumu yang membentukku sebagai anakmu, suka dan duka berbulan masa, engkau pelita di kala jiwa gelap gulita. Meskipun lautan lepas sebagai gantinya tak lekang bagai matahari penyejuk di pusaran bumi.